Tampilkan postingan dengan label Agama lain. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama lain. Tampilkan semua postingan

Agnostik di Indonesia

Pada Mei lalu, seorang kolega ingin menggali cerita orang pindah agama dan menerima pesan langsung dari 20-an orang yang tidak ia kenal sebelumnya ke akun Twitter-nya, dilansir laman Tirto.id. Mereka mengisahkan perjalanan spiritual dari Islam pindah ke Hindu, Kristen ke Islam, Islam ke Buddha, maupun Buddha ke Katolik. Tetapi, yang mengejutkan adalah kebanyakan yang lain dari mereka mengaku sebagai agnostik: meyakini konsep Tuhan tapi tidak mempercayai agama.

Bukan Islam atau Kristen, Ini Agama "Baru" Rina Nose

Kontroversi Rina Nose soal melepas Jilbab masih terus berlanjut di sosial media. Spekulasi soal dirinya melepas Jilbab, bahkan sampai kepada keyakinannya. Rina Nose disebut-sebut telah pindah keyakinan. Seperti diketahui, wanita 34 tahun ini telah menanggalkan jilbabnya setahun yang lalu.

Aliran Kerajaan Ubur-ubur Resahkan Warga Kota Serang

Warga Lingkungan Sayabulu, Kelurahan/Kecamatan Serang, Kota Serang, Banten, diresahkan dengan adanya kegiatan sekelompok orang dalam organisasi Kerajaan Ubur-ubur. Kerajaan yang dipimpin pasangan suami istri bernama Rudi dan Aisyah itu diduga mengajarkan aliran sesat kepada pengikutnya.

Komunitas Yahudi di Papua Akhirnya Memiliki Kitab Taurat

Menurut Canadian Jewish News (CJN), mewartakan satuharapan.com, di Indonesia sudah ada dua sinagoge. Satu di Jakarta dan satu lagi di Timika, Papua (ada pula di Tondano, Sulawesi Utara, - Catatan dari Dr. Igor Popov, LLM). Namun tak satu pun sinagoge ini memiliki gulungan kitab taurat (Torah scrolls).

Penghayat Kepercayaan Mendapat Tempat di KTP

Para penghayat kepercayaan bersalaman setelah Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
(Sumber foto: metrotvnews.com)
Penghayat kepercayaan mendapatkan pengakuan negara dalam sistem administrasi kependudukan. Ini terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi terhadap pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta pasal 64 ayat (1) dan (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Dalam amar putusannya, majelis hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Kata itu juga disebut tak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.

Perayaan 200 tahun kelahiran pendiri Iman Baha'i, Bahá’u’llah

Tahun ini adalah tahun ke-200 kelahiran Baha’u’llah. Pada tanggal 21 dan 22 Oktober kelahiran telah dirayakan di dunia dan Indonesia. 
 IMAN BAHA'I adalah salah satu agama baru yang muncul pada abad ke-19 di Persia. Orientasi tiga silanya ialah universalitas: keesaan Tuhan, kesatuan Agama dan persatuan umat manusia (termasuk keperluan bahasa persatuan, persamaan hak kaum wanita dan pria dan Order Dunia Baru). Menurut ajarannya, Tuhan memanifestasikan diri di dunia sebagai para Pendidik Ilahi, umpamanya, Kresna, Buddha, Musa, Yesus dan Muhammad. Pada th 1844 Sayyid 'Ali Muhammad dari Shiraz menyatakan diri Sang Bab (artinya Gerbang), Mahdi dan Imam Syiah ke-12 yang datang membuka jalan untuk misi lebih besar yang Tuhan wujudkan; Beliau dan banyak sekali sahabatnya pernah dieksekusi. Pada th 1863 salah satu sahabatnya pertama, bangsawan Mirza Husayn 'Ali Nuri (1817-1892) menyatakan diri Baha'u'llah (Kemuliaan Allah), yaitu manifestasi Tuhan baru (wafatnya di Lembaga Akka, Palestina). Karya-karyanya adalah kitab suci agama, antar lain: Kitab-i-Aqdas (Kitab Tersuci), Kitab-i-Ikan (Kitab Keyakinan) dan Tujuh Lembah. Pada khususnya, banyak sekali pengikut agama ini tinggal di India, Iran, AS dan Guyana. Masuk ke Indonesia sekitar th 1878 dengan dua pedagang dari Persia dan Kesultanan Utsmaniyah. Saat ini, bertindak perkumpulan Masyarakat Baha'i Indonesia.

Menyingkap Kehidupan Komunitas Yahudi di Sulawesi Utara

Sinagoga di Tondano (Sumber foto: dailymail.co.uk)

Di tengah intoleransi yang dipersepsikan meningkat di Indonesia, komunitas Yahudi di sebuah sudut terpencil kepulauan Indonesia, hidup tenteram berdampingan dengan penganut agama lain. Di Tondano, sebuah kota dekat Manado, sebuah sinagoge berdiri kukuh dengan atapnya yang merah, menjadi satu-satunya sinagoge di Nusantara berpenduduk 255 juta ini. Kantor berita AFP, dilansir dari Daily Mail dalam laporannya yang cukup panjang (27/04), mengutip laman satuharapan.com, menggambarkan masyarakat Yahudi merasa aman untuk mempraktikkan iman mereka secara terbuka di kota itu. "Kami bisa memakai kippah (kopiah Yahudi) di mal atau di manapun yang kami inginkan, ini bukan masalah," kata Yobby Hattie Ensel, seorang pemimpin Yahudi kepada kepada AFP.

Kemendikbud Rampungkan Kurikulum Pendidikan Penghayat Kepercayaan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tengah menyiapkan mata pelajaran khusus bagi siswa penghayat kepercayaan di setiap sekolah. Dengan begitu, diberitakan di laman m.kbr.id, tak boleh lagi ada paksaan bagi siswa penganut kepercayaan untuk mengikuti pelajaran agama mayoritas di sekolah tersebut. Namun demikian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy menjelaskan, kementeriannya takkan menyediakan guru khusus. Masing-masing sekolah diminta bekerjasama dengan komunitas penghayat untuk mendapatkan tenaga pengajar penghayat kepercayaan (kepercayaan Kebatinan dll, - catatan oleh Dr. Igor Popov). "Siswa penghayat nanti yang memberikan pelajaran komunitasnya, kami serahkan komunitas. Kita serahkan, yang ahli komunitasnya.Tak diserahkan ke guru khusus karena penghayat kan tidak banyak. Tapi harus kami layani, kita hargai hak mereka sebagai penganut penghayat," jelas Muhadjir di Malang, Sabtu (3/9/2016).
 Secara teknis, tambahnya, pendidikan bagi penghayat kepercayaan disesuaikan dengan kebutuhan siswa di masing-masing sekolah. Ia pun melanjutkan, Direktorat Kebudayaan telah menyusun kurikulum sebagai standar bahan ajar bagi siswa penghayat kepercayaan. Tim, kata dia, telah menyusun dan merumuskan materi pelajaran dengan menggelar diskusi bersama kelompok penghayat kepercayaan di seluruh Indonesia. Kebijakan tersebut ditempuh agar siswa penghayat kepercayaan tak mengalami diskriminasi. Layanan bagi peserta didik penghayat kepercayaan ini diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 27 tahun 2016 tentang layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada satuan pendidikan. Peraturan ini mengatur layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bagi siswa penghayat kepercayaan.

Kelompok-kelompok kepercayaan paling banyak mendapat diskriminasi di sekolah

Berpangkal dari laman Kawanuanews.co, Zulfa Nur Rahman siswa Kelas XI SMK Negeri 7 Semarang kecewa berat. Ketika ke sekolah bersama ibunya hendak mengambil rapot Senin 27 Juli lalu, dia dinyatakan tidak naik kelas. Nilai mata pelajaran agama Islamnya kosong. Padahal, Zulfa dan keluarganya bukan penganut agama Islam. Mereka menganut aliran Hayu Ningrat. “Kejadiannya hari Senin kemarin. Waktu Zulfa dan ibunya mengambil rapot. Pihak sekolah memberikan rapot dan meminta surat pernyataan yang telah ditandatangani Zulfa. Setelah itu surat pernyataan dirobek-robek pihak sekolah,” kata Koordinator Presidium Himpunan Ber-KTP Kepercayaan (HBK), KRT Rosa Mulya Aji seperti dilansir dari netralitas.com, Rabu 29 Juli. Pihak sekolah memberikan tiga opsi kepada Zulfa :1) Naik kelas tapi harus pindah sekolahan; 2) Masih boleh sekolah di SMK Negeri 7 Semarang dengan sarat mengikuti dan masuk agama Islam. Ia akan disyahadatkan dan disaksikan oleh orang banyak, dan 3) Naik kelas tetapi masuk Islam dan mengikuti pelajaran baik teori dan praktiknya. Kepala SMK Negeri 7 Semarang M. Sudarmanto mengatakan, Zulfa menolak mengikuti ujian praktik agama Islam sesuai yang diwajibkan sekolah. Sementara, sekolah hanya memfasilitasi ujian enam agama.  Masalah sebenarnya sudah dimulai ketika Zulfa mendaftar sebagai murid baru. Saat mendaftar Zulfa menulis Islam sebagai agamanya. Dia mengikuti agama yang tercantum dalam kartu keluarga (KK) mereka. Sejak itu dia mengikuti mata pelajaran agama Islam, terutama untuk teori. "Sesuai dengan dokumen yang ditunjukkan ke sekolah saat masuk dulu. Yakni, KTP dan KK yang menunjukan bahwa agama yang dianut adalah Islam," kata  Wakil Kepala Sekolah bidang Humas SMKN 7 Semarang, Netty Pietersina Engel, seperti diberitakan Liputan6.com 28 Juli lalu. Di dalam KTP Taswidi, ayah Zulfa, kolom agama ditulis tanda strip (-) karena dia adalah penganut aliran Hayu Ningrat. Kakak Zulfa, Ifatul Kharisatus Salma dulunya juga bersekolah di situ. Ifatul sudah lulus dan selama bersekolah dia tidak mengalami masalah karena mengikuti mata pelajaran Islam, baik teori maupun prakteknya.
 Kasus Zulfa di Semarang adalah sebuah gejala gunung es. Kasus-kasus diskriminatif serupa terhadap para penghayat terdapat di seluruh wilayah Indonesia. Kepala Sekolah SMA Negeri 1, Kecamatan Lirung, Kabupaten Kepuluan Talaud, Sulawesi Utara Alfred Ungke mengatakan, di sekolah yang dia pimpin ada sekitar 5 murid penganut kepercayaan adat Musi. Mereka, kata Alfred harus menyesuikan dengan pendidikan agama yang ada di sekolah itu. “Mereka menyesuaikan. Karena kan tidak ada aturannya. Di UU Sisdiknas mereka itu disebut untuk memilih. Jadi mereka menyesuaikan dengan yang ada. Selain memang tidak tersedia guru pengajar dari kepercayaan adat Musi,” katanya ketika diwawancarai via telepon. 
 Bagaimana pengaruh sistem pendidikan agama seperti yang diterapkan sekarang bagi komunitas kepercayaan adat Musi?  Peneliti yang juga pengajar di Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) CRSS UGM ini menyebut sebuah peraturan menteri pendidikan tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME pada Satuan Pendidikan. Permen tersebut ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 2016 dan diundangkan pada tanggal 1 Agustus. Tanggal penetapannya lima hari lebih dulu dari mulai terungkapnya kasus Zulfa. Dalam Permen ini disebutkan, bahwa layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah hak dari setiap penganutnya. Menurut Samsul, permendikbud tersebut adalah sebuah terobosan. Ia  bisa jadi alat efektif dalam perjuangan hak pendidikan penghayat.
 Gerakan Kemerdekaan Berketuhanan Yang Maha Esa di Semarang bertemu dengan Walikota mereka, Hendar Prihadi untuk meminta hak Zulfa dikembalikan. Walikota memenuhi permintaan itu dan Zulfa akhirnya  naik kelas dan mulai bersekolah lagi.

Kemendagri Imbau Penganut Agama di Luar Undang-Undang Tidak Memaksa Menulis Agama di e-KTP

Mengikut laman tribunnews.com, Kementerian Dalam Negeri mengatakan permasalahan kolom agama di KTP Elektronik atau e-KTP terkait implementasi. Hal tersebut berimbas kepada si penganut untuk mendapatkan e-KTP. Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Zudan Arif Fakrulloh mengatakan permasalahan tersebut biasanya kerap dialami masyarakat yang menganut agama di luar agama Konghucu, Budha, Hindu, Protestan, Katolik, dan Islam.
 "Kalau memang ada bagian dari masyarakat yang kesulitan mendapatkan KTP seperti Ahmadiyah, Sunda Wiwitan, sesungguhnya itu masalah impelementasi. Bisa dikosongkan," kata Zudan saat bertemu dengan komisioner Ombudsman RI di Ombudsman, Jakarta, Kamis (1/9/2016). Masalahnya, kata Zudan, penganut di luar enam agama terbesar di Indonesia meminta agar agamanya ditulis di kolom agama e-KTP. Sementara petugas di lapangan tidak bisa memenuhi lantaran takut melanggar undang-undang. "Silahkan saja dipenuhi aturannya pasti KTP-nya terbit. Yang sering kali tidak mau adalah memaksa. 'Saya harus ditulis sunda wiwitan'. Nah ini petugasnya nggak berani melanggar undang-undang," kata dia. Menurut Zudan, pengosongan kolom agama di luar enam agama itu sesungguhnya hanya terjadi di e-KTP yang dicetak. Data agama seseorang tersimpan di dalam basis data.

Seren Taun Sunda Wiwitan, Cigugur (Sumber foto: foto.kompas.com)

Warga Tionghoa di Rohil padati kuburan

Warga keturunan Tionghoa yang berasal dari luar daerah maupun luar negeri mendatangi sejumlah perkuburan di Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau guna melaksanakan ritual Cheng Beng atau ziarah ke makam leluhur. "Ritual Cheng Beng ini dilaksanakan mulai 10 hari sebelum 5 April dan sampai dengan 10 hari sesudahnya yang dilakukan secara kekeluargaan," kata salah seorang peziarah Akiong (45) di Bagansiapiapi kepada laman Antaranews.com. Tradisi Cheng Beng menurutnya sudah merupakan kegiatan setiap tahun dan ia bersama keluarganya selalu berkumpul di kuburan untuk berdoa serta memberikan sesaji makanan, membakar hio dan lainnya. "Makanan dan buah-buahan yang disajikan ini merupakan kesukaan oleh leluhur dan sembari berdoa kepada arwah untuk kebaikan di surga," ujar Akiong yang akrab disapa Darman itu. Dalam budaya warga Tionghoa, ada tiga kali sembahyang yang ditujukan bagi keluarga yang telah meninggal, yakni sembahyang bulan tiga atau Cheng Beng, sembahyang di saat ritual Bakar Tongkang dan sembahyang Sayur pada bulan Oktober. Sementara itu, penjaga kuburan Amat (60) mengaku sampai saat ini warga keturunan Tionghoa yang ziarah kubur terus berdatangan dari pagi, siang hingga sore hari. "Sejak tiga hari ini jumlah peziarah yang datang ke sini terus meningkat dan banyak yang memanen rezeki," katanya. Ia mengakui, saat Cheng Beng memang merupakan momen para penjaga maupun pengurus kuburan dan berharap panen rezeki, karena pada saat itu peziarah datang sangat banyak. "Kalau Cheng Beng datang banyak orang sekitar kuburan yang semula tidak pernah kelihatan, saat ini pada berdatangan dengan harapan dapat rezeki," kata penjaga makam itu.