Sebuah komisi Katolik di lingkungan Keuskupan Brisbane, Australia, menyerukan kepada negaranya agar mendorong Indonesia untuk menjawab secara konstruktif keinginan rakyat Papua yang baru-baru ini disampaikan dalam bentuk petisi kepada Komisi Dekolonisasi di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Gereja Katolik Brisbane, yang dikenal sebagai Catholic Justice and Peace Commission (CJPC), juga menyatakan dukungannya terhadap isi petisi yang disampaikan kepada PBB dan mengatakan isi petisi tersebut sejalan dengan apa yang ditemukan oleh CJPC ketika berkunjung ke Papua pada tahun 2015.
"Petisi tersebut konsisten dengan sentimen dari banyak rakyat Papua yang saya ajak bicara ketika saya berada di Papua," kata Peter Arndt, excecutive officer CJPC, kepada catholicleader.com.au, mengutip laman satuharapan.com. "Sangat jelas bagi saya bahwa sebagian besar rakyat Papua menginginkan penentuan nasib sendiri," kata dia. Catholic Reader tidak mencantumkan kapan wawancara dengan Arndt dilangsungkan. Juru Bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda, mengklaim telah menyerahkan petisi berisi tanda tangan 1,8 juta rakyat Papua kepada Komisi Dekolonisasi PBB pada 27 September lalu. Isi petisi tersebut antara lain meminta PBB menunjuk wakil khusus untuk menyelidiki pelanggaran HAM di Papua. Selanjutnya, petisi tersebut meminta agar PBB memasukkan kembali Papua ke dalam dafar non self governing territories di PBB dan menjamin diselenggarakannya penentuan nasib sendiri yang diawasi oleh dunia internasional. Klaim ini telah dibantah oleh Ketua Komisi Dekolonisasi PBB, Rafael Ramirez, bahkan menuduh ada pihak-pihak yang ingin memanipulasi Komisi demi kepentingan agenda separatis. Selanjutnya, Ramirez mengatakan petisi referendum Papua tidak masuk dalam agenda Komisi Dekolonisasi sebab Komisi hanya akan membahas 17 teritori yang sudah ada dalam daftar non-self governing territories. Papua tidak termasuk dalam daftar ini.
"Petisi tersebut konsisten dengan sentimen dari banyak rakyat Papua yang saya ajak bicara ketika saya berada di Papua," kata Peter Arndt, excecutive officer CJPC, kepada catholicleader.com.au, mengutip laman satuharapan.com. "Sangat jelas bagi saya bahwa sebagian besar rakyat Papua menginginkan penentuan nasib sendiri," kata dia. Catholic Reader tidak mencantumkan kapan wawancara dengan Arndt dilangsungkan. Juru Bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda, mengklaim telah menyerahkan petisi berisi tanda tangan 1,8 juta rakyat Papua kepada Komisi Dekolonisasi PBB pada 27 September lalu. Isi petisi tersebut antara lain meminta PBB menunjuk wakil khusus untuk menyelidiki pelanggaran HAM di Papua. Selanjutnya, petisi tersebut meminta agar PBB memasukkan kembali Papua ke dalam dafar non self governing territories di PBB dan menjamin diselenggarakannya penentuan nasib sendiri yang diawasi oleh dunia internasional. Klaim ini telah dibantah oleh Ketua Komisi Dekolonisasi PBB, Rafael Ramirez, bahkan menuduh ada pihak-pihak yang ingin memanipulasi Komisi demi kepentingan agenda separatis. Selanjutnya, Ramirez mengatakan petisi referendum Papua tidak masuk dalam agenda Komisi Dekolonisasi sebab Komisi hanya akan membahas 17 teritori yang sudah ada dalam daftar non-self governing territories. Papua tidak termasuk dalam daftar ini.
Peter Arndt dalam berita yang ditulis catholicleader.com.au tidak menyinggung adanya bantahan dari PBB tentang keberadaan petisi tersebut. Sebaliknya, dia meyakini bahwa petisi yang diklaim telah diserahkan kepada PBB tersebut mewakili asiprasi rakyat Papua. Tahun lalu CJPC meluncurkan sebuah studi yang mendokumentasikan intimidasi, penyiksaan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan militer di Papua dengan judul We Will Lose everything. Untuk membuat laporan tersebut, Peter Arndt bersama Suster Susan Connelly dari CJPC berkunjung ke Papua pada tahun 2015 dan berbicara kepada sejumlah pihak di sana dalam menyusun laporan mereka. Di antara rekomendasi yang mereka buat lewat studi tersebut adalah meminta agar pemerintah-pemerintah di Pasifik, termasuk Australia, mengupayakan intervensi Dewan HAM PBB dan Sidang Umum PBB untuk melakukan investigasi yang kredibel terhadap pelanggaran HAM di Papua. Selain itu, pemerintah-pemerintah di Pasifik juga diminta menekan secara langsung pemerintah Indonesia dan mengupayakan intervensi PBB untuk menyelenggarakan dialog antara pemerintah RI dengan pemimpin-pemimpin Papua, yaitu ULMWP, untuk membuka jalan bagi referendum yang sungguh-sungguh di Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar