Menjadi seorang Sulinggih bukanlah hal mudah. Hanya orang orang terpilih yang didapuk dan mampu menjadi pemuka agama Hindu tertinggi. Lantas, bagaimana kalau yang terpilih justru orang asing, bolehkah didiksa jadi Sulinggih?
Mengikut pemberitaan dari laman "radar.jawapos.com", pekan lalu di Griya Agung Siwa Gni Manuaba, menggelar upacara Madiksa untuk tiga warga negara asing (WNA) dan tujuh orang Bhawati dari Jepang. Tiga warga Jepang itu adalah Ida Pandita Mpu Daksa Nakamura Manuaba, Ida Pandita Mpu Daksa Noriko Minowa Yoga Manuaba, dan Ida Pandita Mpu Daksa Satomi Taho Dharma Manuaba. Sedangkan tujuh warga Jepang yang menjalani prosesi sebagai Bhawati adalah Ida Bhawati Naoko Ichikura, Ida Bhawati Kumi Sato, Ida Bhawati Junichi Kamiyama, Ida Bhawati Chikako Takano, Ida Bhawati Minako Ikegai, Ida Bhawati Yoshinori Shimane dan Ida Bhawati Akiko Itonaga. Griya Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Yaska Charya Manuaba di kawasan Jalan Gatot Subroto, Denpasar ini, memang dikenal sangat welcome. Tak hanya bagi umat Hindu di Bali, bahkan bagi warga negara asing (WNA) pun, griya ini sangat terbuka. WNA yang datang umumnya mereka yang tertarik untuk belajar mengenai agama Hindu. “Kami d isini tidak memandang ras dan suku. Siapa pun boleh datang untuk belajar, karena memang begitu tugas seorang sulinggih, menuntun umat sesuai ajaran agama yang terdapat di Weda serta lontar,” ujarnya kepada Bali Express ( Jawa Pos Group), pekan kemarin. Bagaimana proses sesungguhnya dalam tatwa menjadi seorang Sulinggih? Ida Pandita Mpu Nabe Daksa yang mengaku tak bisa menghafal nama-nama orang asing itu, menegaskan, ia tidak sembarangan melaksanakan upacara Madiksa, menjadikan seseorang Sulinggih. “Madiksa itu tidak main - main. Itu upacara khusus yang dilakukan bagi mereka yang siap menjalani hidup baru, atau terlahir kembali. Tidak sembarang orang yang bisa melaksanakan upacara Madiksa. Ada proses persiapan khusus, dari fisik, batin hingga jiwa harus siap. Pengetahuan akan agamanya pun harus kuat. Tak hanya itu, soal bebantenan dan filosofi dari setap tindak tanduknya juga harus dalam,” ujarnya. Ia menambahkan, tiga orang WNA Jepang yang didiksa menjadi Sulinggih lewat upacara Madiksa itu, telah melewati proses panjang sebelumnya. Mulai dari upacara Sudi Wadani hingga upacara Madiksa. “Upacara awal yang harus mereka lalui adalah Sudi Wadani, yakni upacara khusus yang dilakukan bagi mereka non Hindu yang ingin memeluk Hindu,” ujarnya. Setelah melaksanakan upacara Sudi Wadani, mereka diharuskan untuk melakukan pelatihan khusus tentang dasar keagamaan. “Ya yang dasar dulu, seperti bagaimana cara sembahyang, mabanten, apa itu Trisandya, apa itu banten, dan semua pengetahuan dasar mengenai agama Hindu," terangnya. Dikatakannya, semua pelatihan itu bertahap, dari dasar hingga ahli. Dasar soal banten dan mantra hingga soal tatwa. Mereka yang tertarik ikut pelatihan, lanjutnya, belum tentu akhirnya menjadi seorang Bhawati atau seorang Sulinggih. “Belum tentu mereka yang masuk Hindu dan ikut pelatihan lantas menjadi Sulinggih. Karena kembali lagi bahwa semua itu ibarat panggilan. Sama seperti kita orang lokal di Bali, tak sembarangan bisa menjadi Sulinggih. Hanya orang – orang tertentu saja yang terpilih dan dipilih Tuhan untuk menjadi penuntun umat,” ujarnya.
Mantan dosen Pertanian Universitas Udayana ini mengungkapkan, prosesnya yang begitu berat membuat banyak yang menyerah di tengah jalan. “Selain harus terpilih, dari segi mental juga harus kuat. Karena dalam menjalani prosesnya sangat sulit. Saya saja dulu rasanya sempat ingin menyerah, karena kita diharuskan berlatih untuk melepaskan ikatan duniawi. Sebelum akhirnya terlahir kembali setelah melaksanakan upacara Madikasa,” ujarnya. Tak disanggahnya pasti banyak orang bertanya tanya soal orang asing Madiksa, terutama soal kelayakannya. Menurutnya, masyarakat masih salah kaprah menanggapi permasalahan Madiksa “Terkadang beberapa orang masih salah untuk menilai dan memandang sesuatu. Ini bukan soal bisnis, bukan soal kastanya setelah menjadi Sulinggih bagimana, tapi ini soal panggilan. Mereka sama seperti kita. Walaupun tidak terlahir di sini, tapi ketika mereka mendapatkan tuntunan dari Tuhan untuk menjadi seorang Sulinggih, mereka harus dibantu,” ungkapnya. Bahkan, menurutnya, ketiga WNA Jepang yang didiksa tersebut jauh lebih pintar dalam hal bebantenan dan mantra dibanding orang Bali kebanyakan. “Kalau orang luar, agama itu adalah sesuatu yang bersifat pribadi. Jadi, ketika mereka telah memutuskan untuk memeluk suatu agama, mereka benar benar meyakini dan melaksanakan. Berbeda dengan kita yang sejak lahir telah memiliki agama, yang kadang masih tidak peduli. Mereka sangat – sangat menjalani apa yang tertulis di Reg Weda, Jangan heran jika mereka jauh lebih pintar dibandingkan kita yang notabennya orang Hindu Bali ,” ujarnya. Tak hanya membantu mereka yang ingin belajar tentang Hindu, Ida Pandita Mpu Nabe Daksa juga kerap diminta untuk muput upacara di Australia, Jepang hingga Belgia. Di luar negeri memang minim seseorang yang bisa muput upacara, walaupun jumlah orang Bali di Australia cukup besar hingga puluhan kepala keluarga. Jadi, saya dengan senang hati membantu saudara – saudara kita di sana. Ketiga WNA Jepang ini sudah didiksa, dan justeru sangat membantu saudara – saudara kita yang tinggal di Jepang untuk muput banten atau upacara keagamaan lainnya. Mereka yang akan membantu,” ungkapnya. Perjalanan tiga wanita WNA Jepang menjadi Sulinggih, diakuinya tidak jauh denga proses yang dialaminya. Prof Dr.Ir.I Nyoman Sutjipta,M.S, seorang dosen Fakultas Ilmu Pertanian Universitas Udayana ini, harus rela menanggalkan segala atributnya. Mengapa seorang Sutjipta yang memiliki segalanya, justeru banting stir menjadi seorang Sulinggih? Prof Sutjipta yang kini bergelar Ida Pandita Mpu Nabe Daksa Yaska Charya Manuaba itu, mengatakan, apa yang ia jalani hari ini bukanlah sebuah pilihan, namun tuntunan. “Saya tidak pernah menduga akan menjalani kehidupan seperti ini. Semua seolah mengalir, yang saya tahu saya jalani saja semua ini secara iklas,” ungkapnya. Di awal masa – masa transisinya, ia kerap mengalami mimpi buruk yang berulang selama beberapa bulan. “Saya bermimpi ketika tidur ditimpa plafon rumah. Rasanya langit runtuh, saya merasa itu benar – benar nyata. Sesak nafas rasanya,” ungkapnya. Mimpi buruk itu awalnya tak dipedulikannya. Namun terus menerus berulang dan menghantuinya. “Sampai di satu titik saya merasa sangat terganggu dan tidak tahan. Akhirnya saya berusaha mencari jawaban. Kesana kemari saya bertanya, tak ada yang bisa menjawab itu. Sampai akhirnya saya duduk merenung dan meditasi, malamnya saya bermimpi, dan akhirnya dituntun menjadi seperti sekarang,” ungkapnya. Jujur ia akui proses menjadi Sulinggih baginya tidaklah mudah. Melepaskan ikatan keduniawian ketika hidupnya sedang berada di atas, untuknya sangat berat. “Berat, di saat saya sedang ada di puncak keemasan hidup saya. Tiba-tiba saya harus melepas semuanya. Dan, fokus menjadi seorang Brahmana. Tentu sulit, yang biasanya saya aktif beraktivitas, kini saya harus banyak mengerti, banyak menahan hasrat ini dan itu,” ujarnya. Bahkan, ketika di tengah proses pelatihan ia sempat ingin mundur dan menyerah. “Kata siapa menjadi seorang Sulinggih itu mudah? Ada saja rintangannya. Ada saja masalahnya, saya sempat merasa tak kuat, bahkan ingin mundur saja dan kembali kerutinitas dulu. Namun, dukungan keluarga dan tuntunan Sang Hyang Widhi akhirnya saya bisa meneruskan proses tersebut,” ujarnya. Matanya seolah menerawang jauh, ia mengenang proses terberat dalam hidupnya. “Memang dari kecil saya memiliki kecenderungan tertarik dengan ilmu agama. Namun, karena fokus akademis saya di bidang lain, akhirnya saya tidak melanjutkan lagi belajar ilmu agama itu. Tak disangka di usia lanjut ini, saya justeru dituntun Tuhan menjadi seorang Sulinggih,” ungkapnya. Proses yang dialami orang asing yang didiksa, lanjutnya, bukan hal yang mudah bagi dirinya mengikuti, memahami, dan mengerti prosesnya. Namun, kalau Tuhan sudah berkehendak, semuanya akan sesuai dengan alurnya, dan berjalan sebagaimana mestinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar