Dua hari terakhir Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta didatangi sejumlah organisasi masyarakat. Mereka menyatakan peduli pada etnis minoritas Rohingya. Duta Besar Myanmar untuk Indonesia, Aung Too, mengatakan dirinya menghormati kebebasan demokrasi di Indonesia. Meskipun selama dua hari, pengeras suara nyaring terdengar di depan kedutaannya. "Saya berkelakar dengan rekan di sini, ini yang Presiden Joko Widodo sebut sebagai suara berisik (noise) demokrasi," kata Aung Too saat dihubungi lewat pesan Whatsapp oleh Tempo.co, Jumat, 25 November 2016 sore. Dia membantah negaranya telah melakukan penganiayaan terhadap Rohingya. Kepada Tempo, dia menuturkan apa yang sebenarnya terjadi di negerinya.
Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana Anda merespons aksi demonstrasi di depan kedutaan Anda?
Bagaimana Anda merespons aksi demonstrasi di depan kedutaan Anda?
Saya baru saja berkelakar dengan teman saya, ini mungkin yang disebut Presiden Joko Widodo sebagai suara berisik (noise) demokrasi. Kami dibombardir dengan pengeras suara sejak pagi hingga saat ini (sore). Kami menghormati demokrasi dan kebebasan bicara.
Bagaimana situasi di Rakhine saat ini?
Bagaimana situasi di Rakhine saat ini?
Bagaimana respons pemerintah Myanmar?
Dewan negara memerintahkan pasukan keamanan kami untuk menahan diri dan mengatasinya sesuai hukum. Kami tidak akan menggunakan kekuatan jika tidak diserang. Mereka memobilitasi aksi mob bahkan setelah mereka menyerang. Apakah kami harus membiarkan mereka melakukan apa saja yang mereka sukai?
Bagaimana kondisi etnis Rohingya di Myanmar?
Kami tidak menganiaya Rohingya. Pada 2012, jika tidak ada oknum muslim memperkosa dan membunuh seorang wanita Rakhine, maka kekerasan komunal tidak akan terjadi. Tentara dan lembaga internasional tidak perlu turun tangan.
Bagaimana ihwal Rohingya di Rakhine?
Pada masa penjajahan, muslim di Rakhine tercatat dalam sensus sebagai Mohamadin. Pada 1990-an, mereka mengubah nama menjadi Rohingya. Mereka juga menyatakan sebagai putra Rakhine, atau warga asli Rakhine. Bahkan ada sebelum Myanmar.
Mereka minta kewarganegaraan otomatis sesuai dengan undang-undang warga negara 1982. Padahal mereka hanya datang di saat tertentu selama penjajahan Inggris. Mereka tinggal di Myanmar selama dua atau tiga bulan saat musim panen. Tapi di era 1970-an, mereka datang sebagai migran dan tinggal secara permanen di Myanmar.
Bagaimana pemerintah merespons tuduhan penganiayaan terhadap Rohingya?
Kami tidak tahu dari mana asal mereka, bisa jadi dari India atau Pakistan. Itulah mengapa kami sebut mereka Bengali karena menurut kami, mereka berasal dari Teluk Bengal. Karena itu status kewarganegaraan mereka tidak jelas.
Pemerintah ingin memverifikasi status mereka sesuai dengan undang-undang kewarganegaraan. Tapi mereka menolak untuk diverifikasi. Mereka sangat bermusuhan dengan petugas imigrasi.
Jadi, dengan menggunakan agama, mereka menciptakan kesan bahwa warga Budha menganiaya mereka. Mereka menggunakan persaudaraan muslim untuk menggantikan masalah imigrasi.
Oknum-oknum itu tidak hanya menyerang aparat, tapi juga membakar rumah-rumah saudara muslim mereka. Jadi saat aktivis Human Rights Watch (HRW) melihat wilayah itu, mereka menemukan rumah-rumah dibakar.
Apa langkah pemerintah Myanmar selanjutnya?
Langkah pemerintah selanjutnya adalah memulihkan perdamaian dan stabilitas di kawasan dan memulai penyaluran bantuan.
Untuk mendapatkan kebenaran dari insiden terbaru, Madam Aung San Suu Kyi memerintahkan penyelidikan dan efektivitas penyaluran bantuan kepada orang-orang yang paling membutuhkan. Dia juga memerintahkan untuk mempersiapkan rencana agar insiden serupa tidak terulang.
Secara pribadi, dia mengawasi pembangunan ekonomi di negara bagian Rakhine dan berupaya mencari solusi terbaik bagi negara bagian Rakhine. Dia membentuk sebuah komisi penasihat bagi negara bagian Rakhine yang dipimpin mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa Kofi Anan. Meskipun beberapa oknum mengganjal proses tersebut.
Bagaimana pendapat Anda tentang dukungan Indonesia terhadap Rohingya?
Kami menghargai peran konstruktif yang dimainkan Indonesia dalam memberikan bantuan bagi ngara bagian Rakhine. Negara-negara muslim memiliki tanggung jawab untuk membantu rakyat Rakhine.
Apakah warga Rohingya tidak boleh memiliki kewarganegaraan Myanmar?
Jika mereka menginginkan identitas dan kewarganegaraan mereka harus hidup damai dengan warga setempat dan mengikuti proses verifikasi kewarganegaraan. Yang paling penting, mereka harus bisa berbahasa Myanmar. Hanya dengan itu mereka bisa menjadi bagian dari Myanmar dan diterima oleh seluruh rakyat Myanmar.
Bagaimana proses pemberian kewarganegaraan?
Anda bisa mengunjungi situs komisi penasihat Rakhine. Mereka mendorong warga untuk mengikuti proses verifikasi kewarganegaraan. Jika mereka bisa membuktikan bahwa nenek moyang mereka telah tinggal sebelum 1823, seperti yang diatur undang-undang kewarganegaraan, mereka secara otomatis bisa mendapat kewarganegaraan. Undang-undang mengatur kewarganegaraan naturalisasi, asosiasi, dan penduduk permanen sesuai dengan bagaimana mereka tinggal. Karena itu, daripada menciptakan kerusuhan dan meminta bantuan dari saudara muslim, mereka seharusnya mengikuti proses tersebut. Di negara bagian Rakhine, ada kelompok etnis muslim lainnya yang disebut Kamen. Mereka diberi kewarganegaraan secara otomatis karena mereka dapat membuktikan diri bahwa mereka telah tinggal di sana sejak zaman Mongol. Jika mereka yakin telah tinggal sebelum warga Myanmar tinggal di sana, mereka punya hak untuk menjadi warganegara.
Catatan oleh Dr. Igor Popov: Orang Rohingya yang tinggal di bagian barat Myanmar berbatasan Bangladesh adalah keturunan dari pendatang dari Benggala pada zaman koloni Inggris. Mereka mengaku Islam dan berbicara Bengali (otoritas Myanmar menyebut mereka sebagai orang Bengali). Setelah memperoleh kemerdekaan negara Myanmar pada tahun 1948, dan terutama setelah deklarasi agama negara Buddhisme, Front kemerdekaan Rohingya dan kelompok Muslim lainnya mulai mengadakan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah dalam rangka menciptakan negara mereka sendiri. Sebagian besar Rohingya telah lama melarikan diri ke Bangladesh, Pakistan dan negara-negara lain, situasi tetap sama kurang dari satu juta orang telah memburuk tajam setelah kekerasan tahun 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar