Warga Manislor, Kuningan, Jawa Barat (Jabar) yang mengaku tergabung dalam Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) mengeluhkan tentang masalah KTP. Mereka mengaku tidak mendapatkan KTP dalam beberapa tahun terakhir. "Masalah e-KTP ini kita sudah cukup lama, dari tahun 2015 sampai sekarang memperjuangkan, bagaimana hak-hak warga negara kami di Manislor ini. Tapi sebelum itu yang perlu kita garisbawahi bahwa kami di sini dari Jamaah Ahmadiyah, poinnya adalah bahwa kami di sini duduk lebih kepada memfasilitasi, mendampingi hak-hak daripada warga negara," ujar juru bicara JAI Yendra Budiandra
dalam konferensi pers di kantor SETARA Institute, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (23/7/2017), dilansir detik.com. Yendra menyebut warga Manislor itu mendapatkan diskriminasi untuk mengurus KTP. Dia menyebut bila masalah KTP tidak berkaitan dengan keyakinan. "Bahwa persyaratan dan prosedur untuk mendapatkan KTP diakui sebagai warga negara Indonesia itu jelas-jelas tidak ada satu prosedur yang di mana kita kemudian harus menandatangani surat pernyataan di mana kita harus membacakan 2 kalimat syahadat. Permasalahannya adalah bukan pada soal apakah kita syahadatnya seperti ini atau tidak, karena syahadat kita sama seperti sahabat muslim lainnya. Tapi poinnya adalah mengapa persyaratan untuk mendapatkan KTP ini khusus kepada warga Manislor yang kebetulan memiliki keyakinan Ahmadiyah, diharuskan menandatangi seperti ini," kata Yendra.
Di tempat yang sama, seorang warga Manislor bernama Dessy Ariesandy mengaku selama 5 tahun terakhir tidak memiliki KTP. Dia pun merasa tidak diakui dan sulit mendapatkan berbagai fasilitas. "Saya adalah salah satu warga Manislor yang selama 5 tahun hidup tanpa identitas. Bisa kita bayangkan bagaimana ketika hak-hak dasar kita ikut dirampas paksa, oleh pemerintah yang menurut kami ini sudah sangat zalim. Mulai dari kesehatan, pendidikan, ekonomi, politik dan lingkungan kami sendiri. Salah satu contoh yang sampai saat ini tidak bisa kami lupakan, ketika kami berusaha untuk membuat BPJS itu dipersulit karena kami tidak memiliki e-KTP," kat Dessy. Selain itu, Syamsul Alam Agus dari SETARA Institute menyampaikan bila pemerintah melakukan pelanggaran terkait hal itu. Menurutnya, pelanggaran itu terkait Undang-undang nomor 23 tentang Adminstrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil. "Tidak hanya pelanggaran itu, tapi tindak yang dilakukan adalah perbuatan melawan hukum. Ini sebuah kebijakan diskriminatif, karena tidak kepada warga di luar Desa Manislor. Hanya di dalam Desa Manislor, dialami sekitar kurang lebih 300 jiwa warga di sana tidak mendapati e-KTP. Kita pahami bersama terkait dengan dan dampak yang diakibatkan dari tahun 2014, misalnya hak untuk memilih, pilkada kabupaten, tentunya sesuai dengan keputusan KPU 300 jiwa ini tidak bisa menggunakan hakya untuk memilih. Itu dampak yang bisa kita bayangkan, tahun kedepan," kata Alam di tempat yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar