Saat hidup penuh aroma kematian ia hadir dan berpegang teguh pada kehidupan. Seluruh lakon kepemimpinannya selaku ketua BPH Sinode GPM berlangsung saat bara konflik sedang menyala.
Ia tak gentar. Selaku ahli tafsir kitab suci ia berpegang pada dalil utama Alkitab: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.
Seperti dilansir laman sinodegpm.org, bersama rekan-rekannya ia aktif terlibat dalam karya-karya perdamaian dan rekonsiliasi. Bersama Ketua MUI, Uskup Amboina, Walubi dan PHDI Maluku. Mereka bersatu rasa dan karya untuk Maluku Damai.
Jika pemerintah Maluku memberi lebih penghargaan kepada mereka yang berkontribusi bagi daerah maka selayaknya Pdt Brury mendapatkan hal itu walau ia mungkin tidak bermaksud memperoleh semua itu. “Yang paling penting damai tetap tercipta dan kehidupan makin sejatera” begitulah parafrase percakapan kecil dengannya pada suatu waktu. Ia hadir saat kondisi benar-benar tak kendali. Islam Kristen saling berperang, derajat kemanusiaan jatuh hingga titik nadir. Semangat ale rasa beta rasa seakan lenyap begitu saja. “Maluku bagai kurusetra”tulis seorang jurnalis ibukota untuk menggambarkan “perang kota kecil” yang memilukan itu. Tentang istilah perang kota kecil saya pinjam dari judul buku Gerry van Klinken. Ketika babak sejarah kelam 1999 itu berlalu orang seakan kenangan ingatan, amnesia. Semua kisah berdarah dan penuh manipulasi dari aktor-aktor pelaku konflik seakan sirna begitu saja. Padahal sejarah mestilah menjadi guru yang baik. Kesalahan dapat dimaafkan tapi tak mungkin dilupakan. Ujungnya adalah mencari keadilan.
Untungnya masih ada sebagian kolega dan mantan murid serta umat yang merawat ingatan itu melalui sebuah buku berjudul SPIRITUALITAS PRO HIDUP. Sebuah buku penghormatan mensyukuri 70 tahun usianya 1 Agustus 2017. Buku itu diluncurkanpada momen perayaan 82 tahun GPM 6 September 2017. Ada beragam cerita dan gagasan yang dibagi dalam buku ini. Semuanya bermuara pada ikhtiar merawat dan memaknai kehidupan. Kenapa tema ini penting dan urgen? Sebab hidup seakan cerita tentang bayang-bayang maut. Hidup penuh kepalsuan dan kemunafikan. Tidak tulus dan apa adanya. Pada titip inilah spiritualitas kehidupan menggema. Hidup bukan untuk memenuhi instansi hewani. Homo homini lapus manusia jadi serigala untuk sesamanya. Hidup juga bukan sekedar basa basi tak tentu arah dan hilang tujuan. Hidup yang sejati adalah ketika kita saling peduli dan berbagi. Tak cinta diri sendiri dan lupa pada sesama utamanya mereka yang miskin dan kecil. Pdt Dr Broery Hendriks telah memberi keteladanan tentang spiritualitas pro hidup itu. Dan buku menjadi salah satu monumentasi. Selamat ulang tahun ke 70 pak Brury. Terima kasih untuk teladanmu buat kami dan saya pribadi. Saya merasa telah membayar sebagaian hutang dengan terlibat bersama tim menerbitkan buku kecil ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar