Perwakilan sepuluh komunitas adat dari Tano Batak, mendatangi Grha Oikoumene, kantor PGI di Jalan Salemba Raya 10 Jakarta, Rabu (25/10), untuk menyampaikan berbagai konflik tenurial atas wilayah adat. Menurut Sekretaris Eksekutif KSPPM Suryati Simanjuntak, diwartakan laman pgi.or.id, mereka kedatangan tersebut dalam rangka memohon dukungan agar PGI ikut membantu memperjuangan apa yang dialami.
“Mereka menganggap PGI menjadi salah satu tempat untuk mengadu, tempat menyampaikan persoalan yang dihadapi agar suara mereka semakin didengar pemerintah pusat. Karena mereka juga warga gereja yang harus mendapat pertolongan,” katanya. Dalam pertemuan dengan MPH-PGI, berbagai persoalan disampaikan, seperti kasus tenurial yang menimpa masyarakat adat Nagahulambu, Dusun Nagahulambu, Nagori Pondok Bulu, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun. Sekitar 401 hektar persawahan dan perladangan yang berisi tanaman aren, durian, jengkol, dan tanaman lainnya, milik masyarakat adat dirusak oleh PT TPL karena diklaim sebagai areal konsesi dari perusahaan tersebut. Akibatnya 40 KK atau 200 jiwa anggota masyarakat adat Nagahulambu kehilangan mata pencaharian utama mereka sebagai petani. Demikian pula masyarakat adat keturunan Ama raja Medang Simamora, Desa Aek Lung, Kecamatan Dolok Sanggul, Kab. Humbang Hasundutan. Sebanyak 37 KK atau 140 jiwa anggota masyarakat adat ini berkonflik dengan PT TPL sejak 1996. Tanah seluas 150 hektar diklaim PT TPL sebagai wilayah konsesi dan merusak ladang warga yang ditanami jeruk, cengkeh, dan tanamnan lainnya. Pihak perusahaan juga kerap melakukan intimidasi kepada masyarakat adat yang berjuang mempertahankan tanah adatnya. Hal serupa juga dialami Masyarakat adat Onan Harbangan, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara. Sejak 1991, mereka berkonflik dengan PT TPL. Masyarakat adat yang menggantungkan hidup dari hasil kemenyan terus berjuang untuk mempertahankan kemenyannya. Hutan kemenyan milik masyarakat seluas 1080 hektar ditebangi oleh perusahaan dan diganti dengan pohon eucalyptus.
Menyikapi berbagai konflik yang telah diungkapkan oleh perwakilan komunitas adat dari Tano Batak, Sekretaris Umum PGI Pdt. Gomar Gultom menegaskan, PGI akan ikut berjuang dengan menyurati pihak-pihak yang terkait, termasuk Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, juga gereja. “Konflik-konflik sehubungan dengan persoalan atas hutan adat ini tidak dapat diselesaikan apabila tidak adanya perda terhadap legitimasi hutan adat tersebut. Karena itu PGI selain menyurati akan mendorong DPRD dan bupati setempat mengeluarkan perda atas hutan ini,” tambah Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan PGI Pdt. Penrad Siagian. Kesepuluh komunitas adat dari Tano Batak yaitu masyarakat adat Nagahulambu, Kabupaten Simalungun, masyarakat adat keturunan Ama Raja Medang Simamora – di Desa Aek Lung, Kabupaten Humbang Hasundutan, masyarakat adat Pargamanan Bintang Maria, Humbang Hasundutan, masyarakat adat Keturunan Ompu Bolus Simanjuntak. Tapanuli Utara, masyarakat adat Onan Harbangan, Kecamatan Siborongborong, Tapanuli Utara, masyarakat adat Bius Hutaginjang, Kabupaten Tapanuli Utara, masyarakat adat Bius Buntu Raja Sitanggor, Kabupaten Tapanuli Utara, masyarakat adat Golat Simbolon, masyarakat adat Golat Naibaho, Kabupaten Samosir, dan masyarakat adat keturunan Ompu Parlanggu Bosi Situmorang-Palipi, Kabupaten Samosir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar