Situs rujukan beserta warta semua aliran dan organisasi agamawi di Indonesia / The Guide Website with News to All Religious Branches and Organisations in Indonesia
Warga Tual rela berperahu untuk ikut membangun masjid dan gereja
Mereka datang dari berbagai kampung. Tua-muda, lelaki-perempuan, dewasa maupun anak-anak. Islam, Protestan, maupun Katolik. Semuanya meriung di satu titik: lokasi pembangunan Masjid Agung Tual. ”Itu contoh kearifan lokal di sini yang kami sebut maren,” kata Mashury Kabalmay, tokoh pemuda Tual. Itu, memberitaahu laman ucanews.com, maren berarti gotong royong. ”Tapi, dalam penerapannya, bisa sangat luas,” tuturnya. Maren menghapus sekat-sekat agama di Kota Tual Maluku dalam hal kemasyarakatan. Sebab, tradisi itu sudah melekat di antara warga jauh sebelum agama-agama samawi masuk mulai abad ke-16. Begitulah, di tengah Indonesia yang belakangan kian terancam gejolak sektarian, kepulauan nun di tenggara Maluku itu seolah menjadi cermin kebinekaan yang patut diteladani. Masjid berukuran 40×45 meter itu dirancang memiliki tiga lantai. Biaya pembangunannya mencapai Rp 26 miliar, yang sebagian besar ditanggung Pemerintah Kota Tual. Beberapa kilometer saja dari masjid tersebut, sedang dibangun pula Gereja Katolik St Fransiskus Xaverius. Seperti halnya dengan masjid agung, gereja berukuran 42×32 meter itu juga dibangun dengan melibatkan masyarakat Kota Tual secara umum. Pengawas pembangunan gereja Ongen Ngutra menjelaskan, masyarakat dilibatkan saat pekerjaan pengecoran. Begitu juga dengan masjid agung Menurut Ongen, mengumpulkan masyarakat yang akan membantu membangun gereja cukup mudah. ”Kami menemui tetua adat dan memberitahukan bahwa ada pembangunan gereja. Pengecoran tanggal sekian,” lanjut pengawas pembangunan gereja Ongen Ngutra. Tradisi yang sama Contohnya, di Desa Ngadi. Di desa itu, terdapat masjid dan gereja yang hanya terpaut sepelemparan batu. Lokasinya di perbatasan antara kampung Muslim dan kampung Kristen. Caranya, para pemuka agama bertemu secara intensif untuk membahas rekonsiliasi. Di tataran bawah, tumbuh kesadaran bahwa mereka semua bersaudara. Khususnya bersaudara secara harfiah, yakni terikat pertalian darah. ”Masak mau bunuh paman sendiri?” tambah Yusuf Rengur, sesepuh di Desa Ngadi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Lebaran topat (foto: thelangkahtravel.com) Mengujungi Pura Lingsar akan memberikan pandangan baru pada Anda, tentang keharmonisan serta...
-
Kuala Kurun (Inmas) Sejak 25 November silam, Kuala Kurun Kabupaten Gunung Mas menjadi pusat pelaksanaan Festival Tandak Intan Kaharingan (...
-
Para pengurus Vihara Tri Ratna yang terletak di jalan Asahan No. 153, Tanjung Balai, Sumatera Utara yang terletak di daerah Pecinan ak...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar