Sejarah peradaban bangsa Indonesia telah ada sejak ribuan tahun lalu. Bukti kebesaran nenek moyang bangsa Indonesia saat ini salah satunya adalah Mandala Agung Borobudur. Bukan hanya mengagumkan secara bentuk bangunan, pahatan batu dan arsitektur candi, tetapi banyak nilai yang terkandung di dalamnya yang menunjukkan kebesaran budaya Nusantara. Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) keenam tahun ini mengangkat tema “Gandawyuha dan Pencarian Religiusitas Agama-agama Nusantara”.
Gandawyuha merupakan tema utama dari Mandala Agung Borobudur. Pada Candi Borobudur, Gandawyuha dijelaskan melalui relief Borobudur pada lorong 2, 3, dan 4 yang keseluruhannya terdapat 460 panel.
Mengapa Gandawyuha menjadi tema utama Candi Borobudur dan dipahatkan begitu lengkap? Salim Lee, cendekiawan Buddhis yang berdedikasi pada Sutra-sutra Mahayana menjelaskan ada tiga hal penting mengapa nenek moyang bangsa Nusantara mengangkat Gandawyuha dalam Candi Borobudur. “Gandawyuha tema utama di Borobudur, sayang tidak banyak orang yang menghargai. Borobudur itu sendiri setelah kita tinjau dari segi aspek keagamaan, lalu dipertanyakan mengapa Borobudur mengangkat Gandawyuha? “Dalam mengkaji ini, ada tiga hal yang luar biasa mengenai Borobudur yang biasanya orang hanya mengatakan banyaknya relief, luas, dan sifatnya. Pertama, Borobudur pengejawantahan kebudayaan Nusantara yang sangat ramah, kokoh, tapi sangat akomodatif. Agama Buddha dan Hindu saat itu adalah agama dari luar, tetapi karena kuatnya budaya Nusantara kala itu, kita bisa lihat Borobudur tetap bergaya Indonesia. “Kedua, agama yang datang ke Nusantara benar-benar ditelaah, tidak diterima secara gelondongan. Saat itu Gandawyuha sangat populer di India. Raja India sendiri pernah menulis Gandawyuha dengan tangannya sendiri dan diserahkan kepada Kaisar Tiongkok karena dianggap Sutra yang menunjukkan betapa dalamnya ajaran Buddha. Di Tiongkok sendiri, Gandawyuha sangat terkenal, tetapi dalam bentuk meditasi. Tetapi di Borobudur yang lebih ditonjolkan adalah sikap peduli dan bermasyarakat. Kompas moral kalau saya katakan. “Ketiga, bangsa Nusantara bisa menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang datang. Di Borobudur tidak ada ukiran yang asing, semua berciri khas kita. Jadi, Borobudur bisa seperti ini karena kuatnya budaya kita saat itu,” jelasnya dalam konferensi pers BWCF 2017 pada Kamis (23/11) di Hotel Grand Inna Malioboro, Yogyakarta, dilansir dari laman buddhazine.com. Untuk mempelajari lebih mendalam relief Gandawyuha, Salim Lee akan membabar Gandawyuha in situ Borobudur pada hari Sabtu (25/11) pagi. Sementara itu, Romo Mudji Sutrisno dalam pidato kebudayaannya menyampaikan bahwa Gandawyuha merupakan rujukan tertua di Nusantara bagi toleransi. “Kita tahu bahwa semboyan negara kita adalah Bhinneka Tunggal Ika. Ini diambil dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Tetapi jauh sebelum Sutasoma ditulis, sesungguhnya relief Gandawyuha di Borobudur telah menggambarkan benih-benih nilai toleransi,” ujarnya. Oleh karena itu, sangat sesuai mengkaji nilai-nilai toleransi seperti dalam pencarian spiritual Sudhana dalam Sutra Gandawyuha. “Pada zaman ini, kita makin kehilangan guru-guru bangsa yang mampu menyuarakan visi spiritualis dan toleransi yang memberi perasaan kedamaian bagi semua orang. Indonesia ini adalah tempat berseminya banyak spiritual. “Terdapat kemajemukan religi luar biasa di sini. Saya percaya pada titik pencarian dan pendakian sangkan paraning dumadi sebagaimana yang ditapaki Sudhana, pengalaman religiusitas yang dialami semua agama atau semua penghayat pada dasarnya memiliki benang merah,” tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar