Sumarah merupakan sebuah cara pandang hidup serta laku hidup yang berangkat dari laku meditasi yang berasal dari Jawa. Laku hidup yang mengembangkan sebuah kepekaan mendalam, hati, tubuh, maupun kesadaran. Sumarah, ialah kepasrahan yang utuh. Selaras dengan alam semesta, semesta di luar maupun semesta di dalam diri.
Laura Romano lahir di Milano, Italia. Pendidikan terakhir, jenjang master filsafat universitas di Siena (Italia) dengan tesis Mysticism in the Daily Life of Javanese People. Karya lainnya adalah Sumarah − Spiritual Wisdom of Java. Sejak tahun 1995 “mengajar” Sumarah di Eropa, Inggris, dan Australia dalam bentuk workshop. Ia menetap di Indonesia (Solo) sejak 1972 dan sejak itu juga menekuni meditasi Sumarah. Saat ini, tinggal di Solo.
Awal mula
Saya meneliti berbagai aliran kebatinan di Jawa, tetapi kemudian saya tertarik dan mendalami aliran kebatinan Sumarah ini sebagai jalan hidup saya. Semua proses itu lama. Karena saya tidak tertarik dengan konsep spiritual. Saat pertama kali, saya diajarkan relaksasi dan menemukan suara hati. Pada waktu itu, saya dari jurusan filsafat, sehingga banyak menggunakan alam pikiran saya. Sementara itu, dalam Sumarah pikir itu dianggap musuh. Jadi, kalau di dalam pelajaran Sumarah itu yang penting adalah relaks dan mengosongkan pikiran. Hal itu tentu mudah dibicarakan tetapi tidak mudah dilaksanakan dalam keseharian. Mengosongkan diri dari apa? Konsep! Dari pikiran, dari emosi. Jadi itu merupakan suatu kondisi dasar untuk kita mulai meditasi. Pada intinya Sumarah merupakan filsafat kejawen, tetapi metode yang digunakan merupakan metode meditasi. Untuk bisa meditasi, kita harus kosong, tetapi bukan kosong total. Jadi, yang membuat saya tertarik pada Sumarah adalah, justru hal yang saya ragukan selama ini. Kok bisa, kosong dari pikir? Kosong dari konsep? Kok bisa kosong dari perasaan atau emosi? Terus menghilangkan ini semua bagaimana? Kemudian saya jadi penasaran. Saya mengikuti latihan-latihan para pamong (untuk mengatakan guru spiritual.) Saya tidak mencari semua itu. Justru karena tidak mencari, saya malah ketemu. Setelah tekun meditasi, akhirnya, ‘Oh betul semua bisa dihilangkan. Oh pikiran bisa disadari. Oh betul, emosi masih ada tetapi hati tidak mati. Kalau dulu, saya masih konsep ala Barat, pikir dan emosi. Seseorang bisa rasional atau emosional. Ternyata ada kondisi lain.’
Ketertarikan
Apa yang membuat Laura tertarik pada Sumarah, saya menemukan dimensi lain! Untuk mencapai dimensi yang lain itu tak mudah. Hal itu terjadi jika kita sudah siap. Bisa kita katakan anugerah, kita sebut saja dimensi Ilahi. Syaratnya kita harus bersih, bersih dari pikiran, pendapat, opini, emosi. Orang pikir emosi itu hanya marah? Ya ndak, emosi itu banyak, ada sedih, ambisi, senang banget ya emosi. Marah itu hanya salah satu bentuk emosi. Makanya itu, namanya Sumarah, artinya pasrah. Pasrah sebagai orang Barat itu berarti negatif, pasrah ya berarti kalah perang to? Padahal ini pasrah yang lain. Sumarah sebagai paguyuban pada berdiri pada tahun 1940’an oleh Pak Kino, Pak Hardo, dan Pak Tadi, beliau termasuk sebagai pinisepuh, kemudian berkembang menjadi berbagai macam-macam bentuk. Saya tidak fokus pada paguyuban, tetapi kepada ajaran Sumarah.
Kontekstualitas
Ajaran Sumarah, menurut saya selalu nyambung dengan kondisi di Indonesia. Misal, ketika era kolonial, aspek yang ditekankan adalah harus kuat, harus tahan. Sekarang ya tentu lain kontekstualitasnya. Sekarang ajaran Sumarah, masuk pada aliran kepercayaan kepada Tuhan YME. Menurut saya pribadi, saya lebih cocok dengan nama yang dahulu yaitu aliran kebatinan, karena mengolah batin. Ajaran Sumarah ini tidak bisa dikatakan agama, tetapi ini wilayah abu-abu, ada pengikut yang Katholik kemudian memperdalam Sumarah untuk bertemu keimanan Katholik, ada juga yang memang dia aslinya aliran kepercayaan, tetapi untuk praktisnya ia di KTP beragama apa… Berbagai aliran kejawen banyak sekali, ada yang ke arah kesaktian, pengobatan, tetapi di Sumarah arahnya meditasi. Sebetulnya kesaktian itu merupakan pencapaian spiritual yang tergolong rendah, karena di sana masih ada “Aku”. Tingkat keakuannya masih ada. Untuk Sumarah, kesaktian itu ndak ada, kita melatih jiwa.
Sumber: www.buddhazine.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar