CRCS: Penafsiran atas Ajaran Agama Bukan Penyimpangan atau Penodaan

Direktur Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Abidin Bagir, meminta Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir konstitusional bersyarat terhadap Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Mengikut pemberitaan dari laman "Kompas.com", pasal itu menyebutkan, "Setiap  orang dilarang  dengan  sengaja  di  muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan  dukungan  umum, untuk  melakukan penafsiran  tentang sesuatu  agama  yang  dianut  di Indonesia  atau  melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu". Menurut Zainal, frasa "melakukan penafsiran agama" dalam pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran hak-hak warga negara atau kelompok tertentu terkait hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak sipil, politik dan ekonomi. Contoh pelanggaran yang terjadi saat ini setidaknya dialami oleh warga Ahmadiyah dan Syiah. " MK dapat memberikan penafsiran beryarat atas konstitusionalitas Undang-Undang Penodaan Agama karena secara substansi undang-undang tersebut belum sempurna dan dapat diperbaiki," ujar Zainal saat memberikan keterangan ahli dalam sidang uji materi di MK, Jakarta Pusat, Selasa (20/2/2017). (Baca juga: Pasal Penodaan Agama di RKUHP Diperluas) Zainal menjelaskan, perbedaan penafsiran tentang suatu agama sering dipahami sebagai penyimpangan atas ajaran-ajaran agama dari kelompok dominan atau arus utama. Sementara, kelompok dominan setiap agama itu berbeda-beda tergantung dari tempat dan bangsa yang mendiaminya. Ia juga menegaskan bahwa perbedaan penafsiran atas suatu agama bukan merupakan bentuk penyimpangan atau penodaan agama. Sebab, kata Zainal, sejarah agama-agama adalah sejarah perbedaan tafsir. Seluruh agama tanpa terkecuali dalam sejarahnya pasti memiliki perbedaan tafsir. "Sehingga nyaris mustahil menemukan pandangan yang obyektif tentang pokok-pokok agama yang benar. Saya bilang obyektif maksudnya yang tidak terpengaruh dari satu sudut pandang aliran tertentu," ucapnya. (Baca juga: Di Sidang Uji Materi Penodaan Agama, Warga JAI Cerita soal Tindakan Diskriminatif) Oleh sebab itu, Zainal memandang MK perlu memberikan batasan atas frasa "penafsiran  tentang sesuatu  agama" agar pasal tersebut tidak melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Ruang tafsir itu dalam pasal tersebut perlu dibatasi sebagai dasar pengambilan kebijakan negara atas UU Penodaan Agama. "Jadi kita tidak masuk ke pembatasan ruang teologis yang selalu ada perbedaan, tapi ruang tafsir negara. Tujuannya agar keputusan apa pun yang diambil atas undang-undang ini tidak bertentangan dengan konstitusi, termasuk hak sipil politik dan ekonomi kelompok kelompok yang terdampak," kata Zainal. "Maka perlu pagar-pagar konstitusional sejauh mana penafsiran itu bisa dilakukan. Menurut saya di sinilah yang diharapkan dari MK untuk memberikan pagar konstitusionalitas itu," tuturnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar