Terisolirnya umat Hindu di Pedalaman Pulau Buru

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Maluku terus bergerak untuk melakukan pembinaan umat Hindu di pedalaman Provinsi Maluku. Mengikut pemberitaan dari laman "phdi.or.id", pada tanggal 16 Desember 2017, jajaran Pengurus PHDI Provinsi Maluku melakukan kunjungan kerja dan pembinaan umat di Pulau Buru.
Pulau Buru merupakan sebuah pulau yang terdiri dari dua kabupaten yaitu Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan. Kedua kabutan tersebut terpisah oleh laut, dan untuk mencapai satu kabupaten ke kabupaten lainnya diperlukan 12 jam (satu malam) perjalanan. Adapun alat transportasi yang dipakai untuk mencapai kedua kabupaten itu menggunakan transportasi laut yaitu kapal ferry atau kapal cepat atau bisa juga ditempuh dengan menggunakan transportasi udara namun terkendala pengoperasian yang tidak setiap hari dari kota Ambon. Kunjungan dan pembinaan umat Hidnu di Kabupaten Buru, tepatnya di Dataran Rana atau Danau Rana, Kecamatan Penaleisila, Kampung Wasi. Jajaran Pengurus PHDI Provinsi Maluku bertolak ke Pulau Buru dengan transportasi laut dan tiba di Pelabuhan Namlea, pukul 04.00 WIT (16 Desember 2017). Kedatangan rombongan dijemput umat yaitu Bapak Mas Nari, beliau seorang master agama Hindu. Rombongan kemudian beristirahat di sana, yang jarak rumahnya cukup dekat dengan Pelabuhan Namlea. Sambil beristirahat dan menunggu pagi tiba, para rombongan berbincang-bincang dan bercerita tentang kondisi umat. Ada berbagai masukan dan keluh kesah serta saran yang disampaikan Bapak Mas Nari. Beliau merupakan anak muda yang ingin mengabdikan dirinya kepada umat melalui jalur pemerintahan akan tetapi harus membanting setir membuka usaha warung makan bersama ibundanya. Pada Tanggal 17 Desember 2017, seusai sarapan pagi, para rombongan berangkat menuju lokasi dengan menggunakan mobil double gardan yang memang menjadi satu satunya kendaraan yang bisa menembus medan menuju Kampung Wasi. Kondisi jalan dan beratnya medan yang harus dilalui, dibutuhkan tenaga, nyali, dan tentu saja dana yang cukup besar. Hal ini juga menjadi hambatan yang memaksa teman-teman di kabupaten kesulitan untuk mencapai lokasi umat yang memang selalu berada di pedalaman. Hampir sekitar lima jam perjalanan melewati lembah, gunung, menerobos sungai untuk mencapai lokasi. Dan para rombongan pun tiba di Kampung Mhangatnangan yang penduduk Hindu (adat) sebanyak 108 jiwa, mereka menyambut dengan sangat meriah. “Ada rasa haru, bangga juga sedih ketika kehangatan dan kerinduan seorang saudara menyapa,” ucap Ketua PHDI Provinsi I Nyoman Sukadana. Para rombongan kemudian diantar ke Baileo Adat yaitu sebuah tempat pertemuan. Dan para rombongan diajak menari bersama sebagai bentuk penghormatan adat. “Setelah kami tiba. Kami disambut dengan salam selamat datang. Salam adat ‘Tabea’ serta sirih pinang. Khusus sirih pinang menurut salah satu ‘tokoh’ umat di Jakarta merupakan ‘benang merah’ Hindu di Nusantara. Saya tidak tahu apakah pernyataan itu melalui penelitian yang mendalam atau tidak,” tutur I Nyoman Sukadana. Mengawali pertemuan, pejabat desa memberikan sambutan. Beliau beragama Kristen dari kampung berbeda. Setelah sambutan dari pejabat desa, dilanjutkan dengan sambutan Ketua Adat, Tetua-tetua Adat. Mereka menyampaikan isi hati dan keadaan mereka disitu. “Beberapa hal yang menjadi catatan saya adalah adanya kemarahan, kegundahan, kerinduan ingin seperti agama-agam lain di Dataran Rana yang sudah terstruktur dengan lebih baik kehidupan beragamanya,” ujar I Nyoman Sukadana mengambarkan perasaan yang disampaikan tetua-tetua adat. “Seorang tetua adat menyatakan mereka seperti ‘ana ayam seng pung mae’- ‘anak ayam kehilangan induknya’. Ini sejarah buat kami, setelah sekian lama baru kali ini kami merasa punya bapak dan ibu dalam kehidupan beragama. Tetua Adat lain meminta kami untuk melihat generasi muda kampung itu yang menurut mereka harus maju baik dari agama dan lainnya,” tuturnya. Di pintu masuk kampung sudah disiapkan lahan untuk pembangunan Pura meskipun mereka memiliki rumah adat sebagai tempat pelaksanaan ritual adat dan doa. “Pada kesempatan itu tidak banyak yang bisa saya sampaikan selain permohonan maaf kami selaku majelis agama yang belum mampu menyentuh dan memberi pelayanan keumatan kepada mereka. Sedikit penanaman sradda sebagai pemeluk Hindu juga saya tekankan untuk menguatkan keberadaan mereka,” ungkap I Nyoman Sukadana. Sementara itu, Ketua PHDI Kabupaten Buru, Suyitno Wibowo turut memberikan penegasan akan pelayanan keumatan kepada mereka. Penyuluh Agama Hindu Kakemenag Buru, Hadi Nur Slamet meyakinkan bahwa pemerintah melalui Kementerian Agama siap melayani umat Hindu di Kampung Mhangatnangan. Sekitar pukul 15.00 WIT, para rombongan bergerak menuju Kampung Wasi yang berjarak kurang lebih 2 KM dari Kampung Mhangatnangan. Kondisi jalan yang dilalui pun semakin sempit dan berbahaya karena longsor dan jurang menganga di depan mata. Memasuki Kampung Wasi masyarakat menyambut rombongan dengan hangat dan penuh kekeluargaan. Kampung Wasi dihuni sekitar 160 jiwa beragama Hindu (adat). Tanpa banyak membuang waktu rombongan langsung diajak berdialog di Baileo Kampung. “Sama dengan di Kampung Mhanganangan, tokoh-tokoh adat mengucapkan syukur atas pertemuan dan dialog yang lama mereka tunggu-tunggu. Banyak curahan hati mereka yang harus dengan sabar kami dengar dan tampung untuk kemudian menjadi bahan kajian bersama,” ujar I Nyoman Sukadana. Setelah beberapa jam berdialog, para rombongan bergerak meninggalkan Kampung Wasi menuju Waikasar rumah saudara Hadi Nur Slamet yang selalu bersedia menampung rombonngan PHDI Provinsi Maluku dalam setiap kunjungan ke Kabupaten Buru. Rombongan pun tiba pukul 23.00 WIT.

 Kondisi umat Terpencil
Dalam perjalanan pulang, para rombongan lebih banyak diam dengan pikiran masing-masing. Sungguh menyedihkan memang terisolir dan terpencil. “Saya sendiri seolah tercekat kering dalam lamunan. Inilah kondisi umat yang menyatakan dirinya Hindu. Di luar sana pembangunan Pura megah terjadi dimana-mana, upacara dan upakara mewah seolah memanjakan mata seperti menyajikan betapa mapannya umat Hindu di Nusantara ini dilain sisi kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan masih menjadi ciri umat yang melekat. Hanya untuk membangun sebuah Pura Kecil sebagai identitas umat Hindu kami harus mencari cara yang lebih sering tidak membuahkan hasil. Banyak sekali organisasi yang bernafaskan Hindu tetapi lebih banyak bergelut dengan keegoan yang pada akhirnya menimbulkan ketidakharmonisan, konflik antar organisasi/lembaga dan pada akhirnya merugikan umat secara umum. Rasanya saya tidak perlu menyampaikan konflik itu karena seperti hantu yang sejatinya ada tapi sangat sulit untuk dibuktikan,” tutur I Nyoman Sukadana. PHDI Kabupaten Buru juga tidak tinggal diam, Kabupaten Buru yang dari segi jumlah umat Hindu terbesar dari semua kabupaten dan kota di Maluku sudah berupaya maksimal tetapi keberpihakan pemerintah dalam hal ini Pemkab Buru sangatlah minim. “Dalam kesempatan ini juga kami ingin mengetuk hati dan mengajak kita semua sedikit memberikan perhatian kepada saudara-saudara kita yang ingin mendirikan Pura di Kampung Mhanganangan,” ucap I Nyoman Sukada. Ucapan terimakasih saya kepada; Bung Sony Nacikit, Rinong Waemese dan Hengky Waemese sudah menjadi “jembatan” penghubung dengan basudara Hindu di pedalaman Rana. Tetaplah menjadi anak muda Hindu yang kuat dan memegang teguh janji leluhur. Semoga tulisan dari hasil kunjungan kami ini bisa membuka wawasan kita tentang Hindu Maluku dan Hindu Nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar