Hindu, tapi Tak Terpengaruh Majapahit. Desa Songan

Warga Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Bangli memiliki banyak keunikan. Salah satunya soal pemujaan warga setempat yang Bergama Hindu. Mereka tidak mengenal Dewata Nawasanga. Tapi mengenal kesembilan dewa tersebut dengan nama Padewasanga Tapakan.
Dalam ajaran agama Hindu di Bali, Dewata Nawasanga dikenal sebagai dewa penjaga kesembilan penjuru arah mata angin. Dewata Nawasanga adalah sembilan dewa atau manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menjaga atau menguasai sembilan penjuru mata angin. Sembilan dewa itu adalah Dewa Wisnu, Sambhu, Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, dan Siwa.
 Mengikut pemberitaan dari laman "baliexpress.jawapos.com", dikauinya, ajaran Hindu di Songan berbeda dengan Hindu di daerah Bali lainnya. "Di sini tidak terpengaruh oleh ajaran Hindu versi Majapahit. Maka itu penyebutan dewa serta budaya dan keyakinannya pun berbeda,” ujarnya. Masyarakat Songan biasa menyebut Tuhan dengan sebutan Bhatara Satimaan. Tak hanya penyebutan kepada Tuhan yang berbeda, mereka juga tidak mengenal nama dewa – dewa yang biasa dipuja di daerah Bali lainnya. Masyarakat Songan tidak mengenal Dewata Nawasanga. Mereka mengenal sembilan dewa penjaga arah mata angin dengan sebutan Padewasanga Tapakan. Padewasanga tapakan adalah kesembilan dewa penjaga arah mata angin. "Jika masyarakat Bali pada umumnya hanya menyimbolkan Dewata Nawasanga dengan segehan pancawarna, kami mengimplementasikan mereka dengan sembilan pura penjaga. Jadi masing – masing dewa memiliki stana serta perannya,” ujar Kelian Banjar Adat Dalem, Desa Songan, Kintamani,  Jro Mangku Edi.
 Pria yang juga pemangku Pura Desa, Puseh, dan Dalem di Songan ini, menjelaskan, dalam Padewasangan Tapakan terdiri dari sembilan dewa, yakni Ida Ratu Kangin yang berkuasa di arah Timur, Ida Ratu Kauh yang berstana di arah Barat, Ida Ratu Wayan Penyarikan yang berstana di arah Selatan. Kemudian Ida Ratu Ngurah Dalem Balingkang yang berstana di arah Utara, Ida Ratu Dalem Madya yang berstana di Tengah, Ida Ratu Sakti Mekolem yang berstana di arah Timur Laut. Selanjutnya  Ida Ratu Sakti Nunggal yang berstana di arah Barat Daya, Ratu Wayan Manik Bungkah yang berkuasa di arah Tenggara, dan terakhir Ida Ratu Agung berstana di arah Kelod Kauh. “Kami tidak mengenal Dewata Nawasanga. Tidak tahu siapa itu dewa Rudra atau Sangkara. Kami hanya mengenal Padewasanga sebagai Tapakan,” jelasnya.
 Dalam Purana Tatwa Batur (Raja Purana Pura Ulun Danu Batur), dijelaskan asal – usul masyarakat Songan. Dikisahkan, tersebutlah tiga anak Bhatara Indra yang ingin mengetahui siapa ayahnya. I Ratu Ayu Mas Membah (sebutan Bhatari Dewi Danu) kemudian diutus Hyang Pasupati untuk menemani ketiga keponakannya bertemu dengan Bhatara Indra. Lantas, I Ratu Ayu Mas Membah (sebutan Bhatari Dewi Danu)  berangkat ke Bali diiringi ketiga putra Bhatara Indra serta I Ratu Ayu Arak Api untuk datang ke sebuah petirtaan di wilayah Tampaksiring yang disebut Tirta Empul. Sesampainya di sana, I Ratu Ayu Mas Membah langsung menghadap ke stana Bhatara Indra dan mengenalkan ketiga putranya yang selama ini tinggal di Gunung Semeru. Bhatara Indra memberi berkah kepada ketiga putranya. Putra pertama diberi anugerah sebuah stana yang agung nan megah di Gunung Tohlangkir serta air suci.Kemudian ia diberi gelar I Ratu Gede Gunung Agung. Sedangkan air suci yang diterimanya disebut dengan Tirta Mas Manik Kusuma. Untuk putra kedua, Bhatara Indra memberi berkah air suci yang harus diletakkan di arah barat laut Danau Batur. Dikemudian hari tirta ini dikenal dengan sebutan Tirta Mas Manik Mampeh. Putra kedua dikenal dengan sebutan I Gede Nengah. Dan, putra terakhir dianugerahkan Bhatara Indra sebuah balai agung. Ia kemudian distanakan di Manukaya. Lalu, Bhatara Indra meminta Mangku Pucangan agar mengantarkan I Ratu Ayu Mas Membah menuju tempatnya. Beliau dijunjung menuju arah timur laut.Tiba di suatu tempat,  karena kelelahan menjunjung I Ratu Ayu Mas Membah, akhirnya Mangku Pucang memohon agar beristirahat di tempat itu. Usai beristirahat, perjalanan dilanjutkan dan tiba di Desa Pengotan. Saat itu, penduduk sedang rapat. Mangku Pucangan memohon izin untuk menyela rapat dan dapat lewat untuk mengantar Sang Dewi Danu. Namun, masyarakat saat itu malah menertawai serta mengejek wujud Sang Dewi Danu yang berupa ukiran janur yang dijunjung oleh Mangku Pucangan. Sang Dewi pun berujar, jika masyarakat Pengotan memuja Sang Dewi Danu, maka akan diterbangkan angin. Perjalanan dilanjutkan, dan sampai di Penelokan, Mangku Pucangan melihat air payau sangat luas dan Bhatari Ratu Ayu Mas Membah meminta mencari benang dan bulu ayam. Benda tersebut dilemparkan ke tengah payau lalu benang tersebut diikuti oleh Mangku Pucangan. Ketika posisi mereka tepat di tengah air payau (danu), beliau meminta Mangku Pucang menstanakan dirinya di sana. Begitu Beliau diturunkan, mendadak tempat tersebut makin tinggi dan terus menjadi sebuah gunung  di tengah payau (danau). Gunung itu diberi nama Gunung Tempur alias Tempuh Hyang. Artinya, bekas pijakan kaki Ida Bhatari, sehingga menjadi Gunung Tampur Hyang. Nama lain dari Gunung Tampur Hyang adalah Gunung Lebah, yang artinya sebuah gunung yang letaknya di dataran renda. Selain itu juga dinamai  Gunung Sinarata,yang diartikan oleh masyarakat Batur  bahwa gunung yang mendapat sinar matahari secara merata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar