Kelompok-kelompok kepercayaan paling banyak mendapat diskriminasi di sekolah

Berpangkal dari laman Kawanuanews.co, Zulfa Nur Rahman siswa Kelas XI SMK Negeri 7 Semarang kecewa berat. Ketika ke sekolah bersama ibunya hendak mengambil rapot Senin 27 Juli lalu, dia dinyatakan tidak naik kelas. Nilai mata pelajaran agama Islamnya kosong. Padahal, Zulfa dan keluarganya bukan penganut agama Islam. Mereka menganut aliran Hayu Ningrat. “Kejadiannya hari Senin kemarin. Waktu Zulfa dan ibunya mengambil rapot. Pihak sekolah memberikan rapot dan meminta surat pernyataan yang telah ditandatangani Zulfa. Setelah itu surat pernyataan dirobek-robek pihak sekolah,” kata Koordinator Presidium Himpunan Ber-KTP Kepercayaan (HBK), KRT Rosa Mulya Aji seperti dilansir dari netralitas.com, Rabu 29 Juli. Pihak sekolah memberikan tiga opsi kepada Zulfa :1) Naik kelas tapi harus pindah sekolahan; 2) Masih boleh sekolah di SMK Negeri 7 Semarang dengan sarat mengikuti dan masuk agama Islam. Ia akan disyahadatkan dan disaksikan oleh orang banyak, dan 3) Naik kelas tetapi masuk Islam dan mengikuti pelajaran baik teori dan praktiknya. Kepala SMK Negeri 7 Semarang M. Sudarmanto mengatakan, Zulfa menolak mengikuti ujian praktik agama Islam sesuai yang diwajibkan sekolah. Sementara, sekolah hanya memfasilitasi ujian enam agama.  Masalah sebenarnya sudah dimulai ketika Zulfa mendaftar sebagai murid baru. Saat mendaftar Zulfa menulis Islam sebagai agamanya. Dia mengikuti agama yang tercantum dalam kartu keluarga (KK) mereka. Sejak itu dia mengikuti mata pelajaran agama Islam, terutama untuk teori. "Sesuai dengan dokumen yang ditunjukkan ke sekolah saat masuk dulu. Yakni, KTP dan KK yang menunjukan bahwa agama yang dianut adalah Islam," kata  Wakil Kepala Sekolah bidang Humas SMKN 7 Semarang, Netty Pietersina Engel, seperti diberitakan Liputan6.com 28 Juli lalu. Di dalam KTP Taswidi, ayah Zulfa, kolom agama ditulis tanda strip (-) karena dia adalah penganut aliran Hayu Ningrat. Kakak Zulfa, Ifatul Kharisatus Salma dulunya juga bersekolah di situ. Ifatul sudah lulus dan selama bersekolah dia tidak mengalami masalah karena mengikuti mata pelajaran Islam, baik teori maupun prakteknya.
 Kasus Zulfa di Semarang adalah sebuah gejala gunung es. Kasus-kasus diskriminatif serupa terhadap para penghayat terdapat di seluruh wilayah Indonesia. Kepala Sekolah SMA Negeri 1, Kecamatan Lirung, Kabupaten Kepuluan Talaud, Sulawesi Utara Alfred Ungke mengatakan, di sekolah yang dia pimpin ada sekitar 5 murid penganut kepercayaan adat Musi. Mereka, kata Alfred harus menyesuikan dengan pendidikan agama yang ada di sekolah itu. “Mereka menyesuaikan. Karena kan tidak ada aturannya. Di UU Sisdiknas mereka itu disebut untuk memilih. Jadi mereka menyesuaikan dengan yang ada. Selain memang tidak tersedia guru pengajar dari kepercayaan adat Musi,” katanya ketika diwawancarai via telepon. 
 Bagaimana pengaruh sistem pendidikan agama seperti yang diterapkan sekarang bagi komunitas kepercayaan adat Musi?  Peneliti yang juga pengajar di Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) CRSS UGM ini menyebut sebuah peraturan menteri pendidikan tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME pada Satuan Pendidikan. Permen tersebut ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 2016 dan diundangkan pada tanggal 1 Agustus. Tanggal penetapannya lima hari lebih dulu dari mulai terungkapnya kasus Zulfa. Dalam Permen ini disebutkan, bahwa layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah hak dari setiap penganutnya. Menurut Samsul, permendikbud tersebut adalah sebuah terobosan. Ia  bisa jadi alat efektif dalam perjuangan hak pendidikan penghayat.
 Gerakan Kemerdekaan Berketuhanan Yang Maha Esa di Semarang bertemu dengan Walikota mereka, Hendar Prihadi untuk meminta hak Zulfa dikembalikan. Walikota memenuhi permintaan itu dan Zulfa akhirnya  naik kelas dan mulai bersekolah lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar