Human Rights Watch Soroti Perlindungan HAM Setelah Presiden Jokowi Umumkan Cawapres

Keputusan Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk memilih seorang ulama berpandangan konservatif sebagai calon wakil presiden (cawapres) yang akan mendampinginya pada pemilihan presiden (pilpres) tahun depan memunculkan pertanyaan terkait komitmennya untuk memperbaiki perlindungan hak asasi manusia (HAM) bagi semua warga negara, demikian menurut Human Rights Watch (HRW). Setelah mendapat persetujuan dari partai-partai Koalisi Indonesia Kerja, Presiden Jokowi memilih Ma’ruf Amin, 75, karena “beliau adalah sosok utuh sebagai tokoh agama.”


Ma’ruf menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak 2007 dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sejak 2015. Ia juga pernah menjadi anggota DPRD DKI, DPR-RI, MPR-RI and Dewan Pertimbangan Presiden. Namun HRW mengatakan dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada Jumat (10/8) bahwa Ma’ruf memainkan peran penting dalam memperburuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama dan gender karena ia ikut merancang dan menjadi pendukung vokal sejumlah fatwa terkait hak-hak kelompok minoritas agama seperti Ahmadiyah dan Syiah serta komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). HRW mencatat pandangannya yang intoleran seperti ketika MUI menyampaikan sikap keagamaan pada Oktober 2016 bahwa Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, seorang Protestan, menghina Alquran dan ketika ia menjabat sebagai ketua Komisi Fatwa MUI dan mengeluarkan sebuah fatwa pada 2005 yang menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Andreas Harsono, seorang peneliti HRW di Indonesia, mengatakan Ma’ruf melihat banyak hal dari kacamata fikih dan hal ini wajar terjadi. “Persoalannya … Ma’ruf tidak tahu banyak akan perkembangan agama-agama lain maupun perkembangan dunia sehingga cara pandangnya membatasi dirinya sendiri. Ia masih melihat agama lain bisa diselesaikan dengan cara pandang dzimmi di mana orang non-Muslim harus membayar pajak tetapi tidak boleh ikut perang. Pandangannya tidak memadai,” katanya kepada ucanews.com pada Senin (13/8). Senada, Setara Institute menyebut Ma’ruf sebagai salah satu aktor kunci dalam beberapa fatwa MUI yang problematik dan mendorong meluasnya intoleransi serta memberikan energi bagi pelanggaran hak konstitusional minoritas oleh kelompok-kelompok intoleran dan vigilante. “Selain itu, banyak pandangan MUI dan Ma’ruf Amin yang menunjukkan konservatisme dan menghalangi pemajuan dan pemenuhan hak konstitusional kelompok minoritas seperti penghayat kepercayaan … ,” demikian bunyi pernyataan yang dikeluarkan oleh kelompok HAM itu pada Senin (13/8). Menurut Setara Institute, kesediaan Ma’ruf untuk menjadi cawapres bagi Presiden Jokowi dalam pilpres yang akan digelar pada April 2019 harus disertai dengan langgam politik Presiden Jokowi dan realisasi ide-ide politik kebangsaan sebagaimana tertuang dalam dokumen politik Nawa Cita yang hingga saat ini masih jauh dari ideal. “Ma’ruf Amin harus ikut mendorong realisasi cita-cita politik Jokowi dalam pemenuhan dan pemajuan hak seluruh warga negara terutama kelompok minoritas keagamaan dan kelompok-kelompok rentan pelanggaran HAM,” demikian bunyi pernyataan Setara Institute. 
 Yendra Budiana, juru bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia, meyakini bahwa pemilihan Ma’ruf tidak terlepas dari kepentingan politik. “Kami berharap Jokowi dan Ma’ruf Amin bisa keluar dari kondisi di mana beliau, khususnya Ma’ruf Amin sebagai ketua umum MUI dan Rais Aam PBNU, mulai memposisikan diri sebagai pejabat publik yang mengutamakan kepentingan negara yang adil dan taat pada konstitusi,” katanya kepada ucanews.com. “(Kami berharap) Ma’ruf Amin bisa menjadi negarawan yang akan dikenang warga sebagai pemimpin yang menularkan nilai-nilai Islam yang betul-betul menjadi rahmat bagi seluruh warga negara,” lanjutnya. Sementara itu, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan keputusan Presiden Jokowi untuk menggandeng Ma’ruf sebagai cawapres adalah “pilihan realistis secara politik.” dan “minimal akan membuat stigma yang selama ini memancing kampanye berbau SARA menjadi hilang.” “Ada tugas berat bagi Jokowi saat kampanye. Ini kekalahan pluralis. Ma’ruf tidak punya track record yang baik. Bagi kalangan milenial, tidak mudah juga bahwa seorang kiai sepuh yang cenderung dianggap konservatif didekatkan pada milenial, padahal milenial merupakan segmen terbesar,” katanya kepada ucanews.com. “Dari sisi negatif, Jokowi akan terkooptasi oleh pandangan keagamaan konservatif Kiai Ma’ruf atau sebaliknya menjadi jembatan bagi sosok kiai dan tokoh-tokoh agama konservatif lain (untuk) bisa berkompromi dengan pihak-pihak nasionalis,” lanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar